“… Bihari Budaya sunda teh ngandung siloka, bubuka sajarah geusan narabas jalan anyar,pikeun laju kawates harepan.
Kiwari Patapakan seni budaya sunda pating rongheap awor jeung pagaliwota budaya modern, marengan kamelang dina wirahma gelik suling nu mingkin rosa padungdeng jeung hariring sora tutunggulan totonden honcewang mangsa.
Dina lalakon gengsi nu bubumen dina catetan generasi, atra, hariring sunda ngahiliwir dipadumukan kampung budaya di Cikeusal. Sanggar seni budaya Cirangkong Candra lijaya terus laju marengan seahna budaya luar,,,,”
TASIKNEWS- Melihat fenomena perkembangan seni budaya sunda dewasa ini sudah sangat memprihatinkan karena budaya warisan leluhur sekarang sebagian tinggal kenangan dan mulai ditinggalkan. Dan mirisnya, minat generasi muda untuk mendalami seni budaya sunda pun sangat langka, sementara kran budaya asing terus terbuka lebar.
Melihat “sebuah pertempuran budaya “ di negeri sendiri seperti ini tentunya menimbulkan rasa kekhawatiran masyarakat, khsusunya para pelaku seni budaya walau segala upaya dalam rangka melestarikan seni buhun ini terus dilakukan, semisal, pelestarian seni budaya warisan yang ada di Desa Cikeusal Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya, Sanggar Seni Budaya Candra lijaya.
Kemunculan sanggar ini merupakan bentuk dari rasa kepedulian dalam upaya melestarikan warisan nenek moyang di tengah gebyarnya budaya luar yang merasuki generasi muda.
Seperti diungkapkan Kepala Desa Cikeusal, Basir, di desanya sekarang telah terbentuk perkampungan budaya, tepatnya di sanggar seni Candra lijaya Cirangkong tempat kesenian budaya buhun tetap dilestarikan.
Hampir 5 tahun berjalan, pada momen-momen tertentu semisal, perinagatan Hari kemerdekaan 17 agustus artau hajat lembur yang sudah rutin di gelar setiap tahun, pada acara itu pagelaran seni budaya selalu ditampilkan.
“Dan secara umum, di Kabupaten Tasikmalaya sendiri nama Sanggar seni budaya Cirangkong Candra Lijaya sudah tidak asing lagi, bahkan Dinas Pariwisata sendiri sudah mengetahui agenda rutin tahunan hajat lembur di Desa Cikeusal. “jelas Basir.(21/5)
Dalam melakoni setiap proses pada acara ritual hajat lembur, lanjut Basir, ada sejarah seni tersendiri yang harus ditempuh, dari setiap proses atau memasuki sebuah fase seni yang ditampilkan pada acara ritual hajat lembur ada makna yang sangat dalam terkandung baik dari irama maupun gerakan.
Penampilan seni pada acara Hajat lembur, masih cerita Basir, dimulai dengan menampilkan seni beluk yakni permulaan membajak sawah ( bekerja), seni rangkong, kesenian mengangkut hasil padi dari sawah, kemudian dibawa ka rumah, di sini muncul fase seni tutunggulan yakni saat menumbuk padi yang dilanjutkan langsung ke fase hajat. Pada Fase terakhir ini masyarakat disuguhi hiburan Terbang Gebes, maen po, lais dan debus.
“Dalam acara hajat lembur ini ada fase-fase yang harus dijalankan, tidak asal muncul tapi ada sejarah seni yang harus dijalankan,” ujarnya.
Bahkan dalam setiap helaran budaya yang digelar didaerahnya, masih kata Basir, permainan anak-anak zaman baheula (dulu), seperti gobang, juga dimunculkan.
Menurut Basir, saat ditemui PNews di kantor, seni budaya sunda di Desa Cikeusal selain dikenal di tingkat kabupaten juga sering diundang ke Jakarta, seperti di Taman Mini, dengan menampilkan beberapa kesenian, diantaranya, Seni Terbang gebes, rengkong, beluk,Tutunggulan dan Angklung Buncis.
Dengan kesungguhan masyarakat, Basir pun yakin untuk melestarikan peninggalan seni budaya sunda, sudah sepantasnya Desa Cikeusal menjadi buah bibir. Pasalnya, desa yang berada ditengah-tengah perbatasan 4 kecamatan, kecamatan Sukaraja, Sodonghilir, Parungponteng dan Bojonggambir ini sering menjadi obyek penelitian para pelaku seni semisal dan mahasiswa bahkan dari luar negri.
Dengan adanya kampung budaya di daerahnya, Basir pun berharap adanya regenerasi yang bisa menghidupkan seni budaya sunda, kartena selama ini ia melihat minat remaja menekuni seni budaya sunda sangat jarang terutama yang terkait dengan masalah anggaran. Dan selama ini juga anggaran untuk melaksanakan acara rutin hajat lembur didapat dari hasil swadaya masyarakat.
“Intinya, untuk usaha melestarikan seni budaya sunda sangat kesulitan, disatu sisi kegiatan harus berjalan disatu sisi lain terbentur pengadaan alat kesenian,’ papar Basir. *** (Rusdianto)
Kiwari Patapakan seni budaya sunda pating rongheap awor jeung pagaliwota budaya modern, marengan kamelang dina wirahma gelik suling nu mingkin rosa padungdeng jeung hariring sora tutunggulan totonden honcewang mangsa.
Dina lalakon gengsi nu bubumen dina catetan generasi, atra, hariring sunda ngahiliwir dipadumukan kampung budaya di Cikeusal. Sanggar seni budaya Cirangkong Candra lijaya terus laju marengan seahna budaya luar,,,,”
TASIKNEWS- Melihat fenomena perkembangan seni budaya sunda dewasa ini sudah sangat memprihatinkan karena budaya warisan leluhur sekarang sebagian tinggal kenangan dan mulai ditinggalkan. Dan mirisnya, minat generasi muda untuk mendalami seni budaya sunda pun sangat langka, sementara kran budaya asing terus terbuka lebar.
Melihat “sebuah pertempuran budaya “ di negeri sendiri seperti ini tentunya menimbulkan rasa kekhawatiran masyarakat, khsusunya para pelaku seni budaya walau segala upaya dalam rangka melestarikan seni buhun ini terus dilakukan, semisal, pelestarian seni budaya warisan yang ada di Desa Cikeusal Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya, Sanggar Seni Budaya Candra lijaya.
Kemunculan sanggar ini merupakan bentuk dari rasa kepedulian dalam upaya melestarikan warisan nenek moyang di tengah gebyarnya budaya luar yang merasuki generasi muda.
Seperti diungkapkan Kepala Desa Cikeusal, Basir, di desanya sekarang telah terbentuk perkampungan budaya, tepatnya di sanggar seni Candra lijaya Cirangkong tempat kesenian budaya buhun tetap dilestarikan.
Hampir 5 tahun berjalan, pada momen-momen tertentu semisal, perinagatan Hari kemerdekaan 17 agustus artau hajat lembur yang sudah rutin di gelar setiap tahun, pada acara itu pagelaran seni budaya selalu ditampilkan.
“Dan secara umum, di Kabupaten Tasikmalaya sendiri nama Sanggar seni budaya Cirangkong Candra Lijaya sudah tidak asing lagi, bahkan Dinas Pariwisata sendiri sudah mengetahui agenda rutin tahunan hajat lembur di Desa Cikeusal. “jelas Basir.(21/5)
Dalam melakoni setiap proses pada acara ritual hajat lembur, lanjut Basir, ada sejarah seni tersendiri yang harus ditempuh, dari setiap proses atau memasuki sebuah fase seni yang ditampilkan pada acara ritual hajat lembur ada makna yang sangat dalam terkandung baik dari irama maupun gerakan.
Penampilan seni pada acara Hajat lembur, masih cerita Basir, dimulai dengan menampilkan seni beluk yakni permulaan membajak sawah ( bekerja), seni rangkong, kesenian mengangkut hasil padi dari sawah, kemudian dibawa ka rumah, di sini muncul fase seni tutunggulan yakni saat menumbuk padi yang dilanjutkan langsung ke fase hajat. Pada Fase terakhir ini masyarakat disuguhi hiburan Terbang Gebes, maen po, lais dan debus.
“Dalam acara hajat lembur ini ada fase-fase yang harus dijalankan, tidak asal muncul tapi ada sejarah seni yang harus dijalankan,” ujarnya.
Bahkan dalam setiap helaran budaya yang digelar didaerahnya, masih kata Basir, permainan anak-anak zaman baheula (dulu), seperti gobang, juga dimunculkan.
Menurut Basir, saat ditemui PNews di kantor, seni budaya sunda di Desa Cikeusal selain dikenal di tingkat kabupaten juga sering diundang ke Jakarta, seperti di Taman Mini, dengan menampilkan beberapa kesenian, diantaranya, Seni Terbang gebes, rengkong, beluk,Tutunggulan dan Angklung Buncis.
Dengan kesungguhan masyarakat, Basir pun yakin untuk melestarikan peninggalan seni budaya sunda, sudah sepantasnya Desa Cikeusal menjadi buah bibir. Pasalnya, desa yang berada ditengah-tengah perbatasan 4 kecamatan, kecamatan Sukaraja, Sodonghilir, Parungponteng dan Bojonggambir ini sering menjadi obyek penelitian para pelaku seni semisal dan mahasiswa bahkan dari luar negri.
Dengan adanya kampung budaya di daerahnya, Basir pun berharap adanya regenerasi yang bisa menghidupkan seni budaya sunda, kartena selama ini ia melihat minat remaja menekuni seni budaya sunda sangat jarang terutama yang terkait dengan masalah anggaran. Dan selama ini juga anggaran untuk melaksanakan acara rutin hajat lembur didapat dari hasil swadaya masyarakat.
“Intinya, untuk usaha melestarikan seni budaya sunda sangat kesulitan, disatu sisi kegiatan harus berjalan disatu sisi lain terbentur pengadaan alat kesenian,’ papar Basir. *** (Rusdianto)