“ …. Nyawang Alam Bihari.. nyungsi tapak lacak titingalna dina ngaguar sajarah…Estuning seueur tuladeun nu musti dipiara. Sajatina , Sumebarna wawangi Sukapura di jomantara teu leupas dina migawe repokna tekad ucap jeung lampahna sapopoe. Pon, Sakolepatna lalakon RA..Dewi Siti Monigar, kiwari masih atra nyoara ngaliwatan titingal sajarahna… Tigina Solokan Leuwi bitung, Sawah Bojong, mangrupa Carita teu betus nu sirna dina gulungan sajarah Sukapura….”
Selama ini masyarakat mengenal nama Sukapura merupakan daerah di wilayah Kecamatan Sukaraja, yang menjadi penyangga antara Kabupaten dan Kota Tasikmalaya.
Dan mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang tahu sejarahnya, nama Sukapura sendiri lahir dari sebuah kejadian atau peristiwa bersejarah dimana nama tersebut sarat filosofi serta mengandung makna yang sangat dalam, Soka dan Pura. Soka berarti tiang (asal) dan pura artinya, nagara (agama).
Keberadaan peninggalan-peninggalan (altar) Sukapura yang berada disabudeureun Kecamatan Sukaraja, merupakan bukti-bukti sejarah dan saksi bisu keberadaan Sukapura zaman baheula yang merupakan cikal bakal terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya sekarang.
Sangat ironis, kebesaran Sukapura kini terkesan hanya sebuah slogan. ketika perwujudan asa dan realita melihat peninggalan sejarah Sukapura sekarang ternyata sangat kontradiktif. Aset bersejarah tersebut keberadaannya terasingkan dan hampir luput dari sentuhan tangan Pemkab Tasikmalaya.
Selama ini situs makam Bupati yang berada di Baganjing masih mendapatkan perhatian, sedangkan peninggalan sejarah lainnya banyak yang tidak terurus dan terawat. Kehadiran yayasan Sukapura yang selama ini dipercaya dalam pengelolaan aset kabuyutan Sukapura pun ternyata jauh dari sebuah harapan rundayanna (keturunan).
Literasi lain pun dari perjalanan para tokoh sejarahnya tidak ditulis secara lebih gamblang, karena kemungkinan minimnya informasi, padahal para tokoh tersebut ikut berjasa dina ngalalakon nanjeurkeun Sukapura bihari.
Semisal sejarah berkaitan dengan keberadaan Srikandi Sukapura, Nyai R.A. Dewi Siti Munigar yang konom tilem ( menghilang) dalam catatan sejarah Sukapura. Padahal hal itu sangat penting dimana lembaran-lembaran dari gulungan sejarah tersebut sangat berguna untuk dijadikan referensi lokal dalam memperkuat dan memperjelas eksistensi Sukapura kedepannya.
Bagaimana kita akan menceritakan kebesaran sebuah Sejarah masa lalu pada generasi mendatang, andai kita sekarang belum mengenalnya dan membiarkan semua peninggalannya terlantar.
Berbicara tentang sosok Srikandi Sukapura, Ra. Dewi Siti munigar juga sangat minim informasi. Tapi kehadiran Beliau dalam catatan sejarah Sukapura pada awal pembentukan Kabupatian Pertama Sukapura, R.Wirawangsa ( Wiradadaha 1) pada Tahun 1632-1674, merupakan tokoh penting dibalik masa keemasan pemerintahan kabupatian pertama atau Dalem Baganjing, dan R. Dewi Siti Munigar merupakan putri R.Ace Sukarna ( Hamengku Buwono).
Pada masa pemerintahan R. Wirawangsa yang merupakan putra dari R. Wirahadikusumah ( Entol Wiraha) yang menjadi Umbul Sukakerta, R.Dewi Siti Munigar atau nama lain Nyi Raden Katibun Mantri atau Katibun Rajamantri atau dikenal BalungTunggal, versi lain menyebutkan nama lain beliau yakni Nyi Rambut Kasih, kedudukan beliau pada waktu itu sebagai penasehat utama.
Pada masa itu, RA. Dewi Siti Munigar merupakan satu-satunya wanita yang memiliki ilmu kedigjayaan yang sangat tinggi disamping seorang wanita yang memiliki sifat arif dan bijaksana. dengan ketajaman mata batinnya, ia sering dimintai pendapat apalagi saat R.Wirawangsa menemui kesulitan dalam mengelola negara atau pun saat negara dalam keadaan genting. Pada masa kepemerintahan Raden wirawangsa dibantu dua orang patih, R.Singadinata dan Eyang Jenggot.
Salah satu keturunannya, Encang Priatna menuturkan, disamping banyak nama yang melekat padanya bukti petilasan (makam), juga tersebar di beberapa tempat, seperti di Harjawinangun (Sekarang Manonjaya), Desa Leuwibudah dan di makam Baganjing. Fakta sejarah dan sebuah legenda kisah heroiknya tidak serta merta terhapus dari percaturan sejarah keturunannya, hingga kini legendanya tetap hidup dari cerita turun temurun tentang perjuangannya nanjeurkeun Sukapura zaman bihari.
“Sejarah beliau begitu misterius, ada penghapusan dalam sejarah Sukapura dari dulu .“, ujar Kepala Desa Leuwibudah, Encang Priatna, saat ditemui dirumahnya.(12/3)
Fakta sejarah berupa solokan (parit) Leuwi bitung dan hamparan sawah Bojong tepatnya di kampung Babakan Cimanggu tutur Encang, ini merupakan kontribusi nyata RA.Dewi Siti Munigar pada masa pemerintahan Kabupatian Sukapura Pertama, dan hasil darmanya tersebut sampai sekarang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar.
“Srikandi Sukapura ini merupakan tokoh penting dalam pemerintahan Kabupatian Sukapura terlebih pada saat itu dalam suasana genting, beliau sebagai bebenteng bupati ” ujar Encang.
RA.Dewi Siti Munigar, masih tutur Encang, pada masa hidupnya beliau tinggal di Babakan Cimanggu, sekarang menjadi tempat tinggal Kades Leuwibudah, dulu kampung tersebut merupakan Kampung pangheubeulna disisi walungan cimawate.
Semasa Kabupatian Sukapura pindah di Empang (Sukaraja), legendanya di sebagian masyarakat Sukaraja sudah menjadi sabiwir hiji , dan seiring kisah heroiknya saat beliau kapeto ( dipercaya) untuk munday (menangkap ikan secara beramai-ramai dengan menggunakan tangan) di sungai Ciwulan, (sekarang lokasinya di bawah Jembatan Sukaraja, batas Kota dengan Kabupaten Tasikmalaya-red) .
Berkat kesaktian yang dimiliki R.A.Dewi Siti Munigar, sebelum acara munday dilaksanakan, konon sungai Ciwulan dipenggel (membendung air agar tidak mengalir) dengan menggunakan sehelai rambut panjangnya dan mitos lain menceritakan, itu dilakukan dengan menggunakan (maaf, rambut larangannya).
Nama Sukaraja sendiri konon diambil dari sebuah peristiwa tersebut, saat itu daerah Sukapura sering dijadikan tempat untuk bersenang-senang para gegeden atau para menak jaman baheula dengan melakukan munday di sungai Ciwulan.
Harumnya kisahnya RA.Dewi Siti Monigar pun menyebar hingga ke Bandung berkat jasanya memenangkan pertempuran antara Sukapura dan Sumedang. Bahkan namanya sendiri diabadikan pada sebuah jalan protokol di Nyengseret, Astana Anyar Bandung. Wallohu Bi”Sawab.. (RUSDIYANTO)
Selama ini masyarakat mengenal nama Sukapura merupakan daerah di wilayah Kecamatan Sukaraja, yang menjadi penyangga antara Kabupaten dan Kota Tasikmalaya.
Dan mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang tahu sejarahnya, nama Sukapura sendiri lahir dari sebuah kejadian atau peristiwa bersejarah dimana nama tersebut sarat filosofi serta mengandung makna yang sangat dalam, Soka dan Pura. Soka berarti tiang (asal) dan pura artinya, nagara (agama).
Keberadaan peninggalan-peninggalan (altar) Sukapura yang berada disabudeureun Kecamatan Sukaraja, merupakan bukti-bukti sejarah dan saksi bisu keberadaan Sukapura zaman baheula yang merupakan cikal bakal terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya sekarang.
Sangat ironis, kebesaran Sukapura kini terkesan hanya sebuah slogan. ketika perwujudan asa dan realita melihat peninggalan sejarah Sukapura sekarang ternyata sangat kontradiktif. Aset bersejarah tersebut keberadaannya terasingkan dan hampir luput dari sentuhan tangan Pemkab Tasikmalaya.
Selama ini situs makam Bupati yang berada di Baganjing masih mendapatkan perhatian, sedangkan peninggalan sejarah lainnya banyak yang tidak terurus dan terawat. Kehadiran yayasan Sukapura yang selama ini dipercaya dalam pengelolaan aset kabuyutan Sukapura pun ternyata jauh dari sebuah harapan rundayanna (keturunan).
Literasi lain pun dari perjalanan para tokoh sejarahnya tidak ditulis secara lebih gamblang, karena kemungkinan minimnya informasi, padahal para tokoh tersebut ikut berjasa dina ngalalakon nanjeurkeun Sukapura bihari.
Semisal sejarah berkaitan dengan keberadaan Srikandi Sukapura, Nyai R.A. Dewi Siti Munigar yang konom tilem ( menghilang) dalam catatan sejarah Sukapura. Padahal hal itu sangat penting dimana lembaran-lembaran dari gulungan sejarah tersebut sangat berguna untuk dijadikan referensi lokal dalam memperkuat dan memperjelas eksistensi Sukapura kedepannya.
Bagaimana kita akan menceritakan kebesaran sebuah Sejarah masa lalu pada generasi mendatang, andai kita sekarang belum mengenalnya dan membiarkan semua peninggalannya terlantar.
Berbicara tentang sosok Srikandi Sukapura, Ra. Dewi Siti munigar juga sangat minim informasi. Tapi kehadiran Beliau dalam catatan sejarah Sukapura pada awal pembentukan Kabupatian Pertama Sukapura, R.Wirawangsa ( Wiradadaha 1) pada Tahun 1632-1674, merupakan tokoh penting dibalik masa keemasan pemerintahan kabupatian pertama atau Dalem Baganjing, dan R. Dewi Siti Munigar merupakan putri R.Ace Sukarna ( Hamengku Buwono).
Pada masa pemerintahan R. Wirawangsa yang merupakan putra dari R. Wirahadikusumah ( Entol Wiraha) yang menjadi Umbul Sukakerta, R.Dewi Siti Munigar atau nama lain Nyi Raden Katibun Mantri atau Katibun Rajamantri atau dikenal BalungTunggal, versi lain menyebutkan nama lain beliau yakni Nyi Rambut Kasih, kedudukan beliau pada waktu itu sebagai penasehat utama.
Pada masa itu, RA. Dewi Siti Munigar merupakan satu-satunya wanita yang memiliki ilmu kedigjayaan yang sangat tinggi disamping seorang wanita yang memiliki sifat arif dan bijaksana. dengan ketajaman mata batinnya, ia sering dimintai pendapat apalagi saat R.Wirawangsa menemui kesulitan dalam mengelola negara atau pun saat negara dalam keadaan genting. Pada masa kepemerintahan Raden wirawangsa dibantu dua orang patih, R.Singadinata dan Eyang Jenggot.
Salah satu keturunannya, Encang Priatna menuturkan, disamping banyak nama yang melekat padanya bukti petilasan (makam), juga tersebar di beberapa tempat, seperti di Harjawinangun (Sekarang Manonjaya), Desa Leuwibudah dan di makam Baganjing. Fakta sejarah dan sebuah legenda kisah heroiknya tidak serta merta terhapus dari percaturan sejarah keturunannya, hingga kini legendanya tetap hidup dari cerita turun temurun tentang perjuangannya nanjeurkeun Sukapura zaman bihari.
“Sejarah beliau begitu misterius, ada penghapusan dalam sejarah Sukapura dari dulu .“, ujar Kepala Desa Leuwibudah, Encang Priatna, saat ditemui dirumahnya.(12/3)
Fakta sejarah berupa solokan (parit) Leuwi bitung dan hamparan sawah Bojong tepatnya di kampung Babakan Cimanggu tutur Encang, ini merupakan kontribusi nyata RA.Dewi Siti Munigar pada masa pemerintahan Kabupatian Sukapura Pertama, dan hasil darmanya tersebut sampai sekarang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar.
“Srikandi Sukapura ini merupakan tokoh penting dalam pemerintahan Kabupatian Sukapura terlebih pada saat itu dalam suasana genting, beliau sebagai bebenteng bupati ” ujar Encang.
RA.Dewi Siti Munigar, masih tutur Encang, pada masa hidupnya beliau tinggal di Babakan Cimanggu, sekarang menjadi tempat tinggal Kades Leuwibudah, dulu kampung tersebut merupakan Kampung pangheubeulna disisi walungan cimawate.
Semasa Kabupatian Sukapura pindah di Empang (Sukaraja), legendanya di sebagian masyarakat Sukaraja sudah menjadi sabiwir hiji , dan seiring kisah heroiknya saat beliau kapeto ( dipercaya) untuk munday (menangkap ikan secara beramai-ramai dengan menggunakan tangan) di sungai Ciwulan, (sekarang lokasinya di bawah Jembatan Sukaraja, batas Kota dengan Kabupaten Tasikmalaya-red) .
Berkat kesaktian yang dimiliki R.A.Dewi Siti Munigar, sebelum acara munday dilaksanakan, konon sungai Ciwulan dipenggel (membendung air agar tidak mengalir) dengan menggunakan sehelai rambut panjangnya dan mitos lain menceritakan, itu dilakukan dengan menggunakan (maaf, rambut larangannya).
Nama Sukaraja sendiri konon diambil dari sebuah peristiwa tersebut, saat itu daerah Sukapura sering dijadikan tempat untuk bersenang-senang para gegeden atau para menak jaman baheula dengan melakukan munday di sungai Ciwulan.
Harumnya kisahnya RA.Dewi Siti Monigar pun menyebar hingga ke Bandung berkat jasanya memenangkan pertempuran antara Sukapura dan Sumedang. Bahkan namanya sendiri diabadikan pada sebuah jalan protokol di Nyengseret, Astana Anyar Bandung. Wallohu Bi”Sawab.. (RUSDIYANTO)