PARIGI-Mungkin untuk kesekian kalinya para tenaga honorer Katagori 2 (K2) meminta kejelasan pemerintah terkait status mereka yang selama ini sudah lama mengabdi bahkan ada yang sudah puluhan tahun.
Seperti diungkapkan ketua Forum Honorer Indonesia (FHI) Kordinator Kabupaten Pangandaran, Selamet Sepiyadi, ketidak jelasan status yang disandang hingga saat ini membuat ia dan rekan-rekannya seolah sebuah pengabdian yang tapi tanpa pengakuan dari pemerintah.
Padahal, menurut Selamet, saat ditemui usai menggelar audens dengan DPRD, dalam pengabdiannya tenaga honorer K2 sama seperti layaknya ASN (Aparatur Sipil Negara ) lainnya.
“Tekniknya kami menyerahkan pada pemerintah, status kami nantinya sepert apa. “ungkap Selamet.(23/8)
Selamet juga mengatakan, kesejahteraan yang ia terima selama ini pun jauh dari kata cukup bahkan untuk standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) pun tidak terpenuhi.
“Dalam setiap bulannya kami hanya menerima Rp300 ribu saja, jangankan untuk kebutuhan hidup untuk beli bensin dari rumah ke tempat kerja pun tidak mencukupi. “terang Selamet.
Selamet menambahkan, karena tidak ada payung hukum yang mengatur tenaga honorer K2, maka cara pengupahan pun tentu saja tidak ada standar aturan yang bisa digunakan, karena baik tenaga yang sudah puluhan tahun mau pun yang baru masuk, sama-sama mendapat upah dengan jumlah sama.
Sementara saat diminta tanggapannya, Ketua DPRD Kabupaten Pangandaran, H. Iwan M Ridwan, S.Pd, M.Pd, menyampaikan, ada dua hal yang disampaikan FHI pada saat audens, pertama mengenai status dan yang kedua terkait kesejahteraan yang selama ini mereka terima.
Pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan Peratuaran Pemerinatah (PP) nomer 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pada pasal 8 mengatakan, Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebelum PP tersebut terbit, masih kata Iwan, di daerah itu dulu ada tenaga honorer K1 dan K2, setelah melalui penjaringan seluruh K1 lolos hingga menjadi PNS. Sementara sisa tenaga honorer yang masuk K2 saat dilakukan penerima CPNS dulu, sebagian ada yang terjaring jadi PNS dan banyak juga yang bernasib kurang baik tidak lulus pada tes CPNS itu.
Menurut data yang ada di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, lanjut Iwan, di Kabupaten Pangandaran ada 455 orang.
“Dan data terakhir bulan juli 2018, berjumlah 312 orang. “terang Iwan.
Dikatakan Iwan, dalam aspirasi yang disampaikan FHI pada DPRD sebenarnya tidak muluk-muluk untuk diangkat menjadi PNS, tapi hanya ingin kepastian status.
Yang kedua, terutama tenaga honorer K2 yang selama ini sudah puluhan tahun mengabdi di pendidikan, tapi penghasilan (insentif) hasil kebijakan pemda hanya mendapatkan R 300 ribu per bulan, dan jumlah tersebut diterima K2 baik yang sudah puluhan tahun mau pun yang baru 1-2 tahun.
“Prinsipnya, regulasi, ketentuan dan kepastian hukum untuk tenaga honorer K2 harus ada, hanya saja tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan. “kata Iwan lagi.
Secara kelembagaan, lanjut Iwan, DPRD meminta Pemkab Pangandaran melalui asisten III dan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk segera mencari formulasi yang tepat, paling tidak para tanga K2 punya status.
Karena pada prinsipnya, menurut Iwan, sebagian tenaga honorer K2 ini mempunyai Surat Keputusan (SK) dari dinas terkait sebelum PP nomer 48 tahun 20015 ada. Artinya, secara hukum SK tersebut sampai sekarang masih berlaku, karena prosedurnya jika ingin mencabut SK harus dengan SK lagi, tapi masalahnya itu dilakukan oleh pejabat yang dulu.
“Tapi sekali lagi, kami menyerahkan masalah ini ke pemda, yang penting mereka mempunyai status dan perbaikan terkait kesejahteraanya. “pungkasnya. (PNews)
Seperti diungkapkan ketua Forum Honorer Indonesia (FHI) Kordinator Kabupaten Pangandaran, Selamet Sepiyadi, ketidak jelasan status yang disandang hingga saat ini membuat ia dan rekan-rekannya seolah sebuah pengabdian yang tapi tanpa pengakuan dari pemerintah.
Padahal, menurut Selamet, saat ditemui usai menggelar audens dengan DPRD, dalam pengabdiannya tenaga honorer K2 sama seperti layaknya ASN (Aparatur Sipil Negara ) lainnya.
“Tekniknya kami menyerahkan pada pemerintah, status kami nantinya sepert apa. “ungkap Selamet.(23/8)
Selamet juga mengatakan, kesejahteraan yang ia terima selama ini pun jauh dari kata cukup bahkan untuk standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) pun tidak terpenuhi.
“Dalam setiap bulannya kami hanya menerima Rp300 ribu saja, jangankan untuk kebutuhan hidup untuk beli bensin dari rumah ke tempat kerja pun tidak mencukupi. “terang Selamet.
Selamet menambahkan, karena tidak ada payung hukum yang mengatur tenaga honorer K2, maka cara pengupahan pun tentu saja tidak ada standar aturan yang bisa digunakan, karena baik tenaga yang sudah puluhan tahun mau pun yang baru masuk, sama-sama mendapat upah dengan jumlah sama.
Sementara saat diminta tanggapannya, Ketua DPRD Kabupaten Pangandaran, H. Iwan M Ridwan, S.Pd, M.Pd, menyampaikan, ada dua hal yang disampaikan FHI pada saat audens, pertama mengenai status dan yang kedua terkait kesejahteraan yang selama ini mereka terima.
Pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan Peratuaran Pemerinatah (PP) nomer 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pada pasal 8 mengatakan, Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebelum PP tersebut terbit, masih kata Iwan, di daerah itu dulu ada tenaga honorer K1 dan K2, setelah melalui penjaringan seluruh K1 lolos hingga menjadi PNS. Sementara sisa tenaga honorer yang masuk K2 saat dilakukan penerima CPNS dulu, sebagian ada yang terjaring jadi PNS dan banyak juga yang bernasib kurang baik tidak lulus pada tes CPNS itu.
Menurut data yang ada di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, lanjut Iwan, di Kabupaten Pangandaran ada 455 orang.
“Dan data terakhir bulan juli 2018, berjumlah 312 orang. “terang Iwan.
Dikatakan Iwan, dalam aspirasi yang disampaikan FHI pada DPRD sebenarnya tidak muluk-muluk untuk diangkat menjadi PNS, tapi hanya ingin kepastian status.
Yang kedua, terutama tenaga honorer K2 yang selama ini sudah puluhan tahun mengabdi di pendidikan, tapi penghasilan (insentif) hasil kebijakan pemda hanya mendapatkan R 300 ribu per bulan, dan jumlah tersebut diterima K2 baik yang sudah puluhan tahun mau pun yang baru 1-2 tahun.
“Prinsipnya, regulasi, ketentuan dan kepastian hukum untuk tenaga honorer K2 harus ada, hanya saja tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan. “kata Iwan lagi.
Secara kelembagaan, lanjut Iwan, DPRD meminta Pemkab Pangandaran melalui asisten III dan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk segera mencari formulasi yang tepat, paling tidak para tanga K2 punya status.
Karena pada prinsipnya, menurut Iwan, sebagian tenaga honorer K2 ini mempunyai Surat Keputusan (SK) dari dinas terkait sebelum PP nomer 48 tahun 20015 ada. Artinya, secara hukum SK tersebut sampai sekarang masih berlaku, karena prosedurnya jika ingin mencabut SK harus dengan SK lagi, tapi masalahnya itu dilakukan oleh pejabat yang dulu.
“Tapi sekali lagi, kami menyerahkan masalah ini ke pemda, yang penting mereka mempunyai status dan perbaikan terkait kesejahteraanya. “pungkasnya. (PNews)